Pages

Tuesday, January 8, 2013

Hukum Dzikir Berjama'ah



Mayoritas ulama salaf sepakat, hukum zikir berjamaah boleh dilakukan. Ini sesuai pula dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasul dan para sahabatnya.

Zikir merupakan aktivitas yang mulia. Dengan berzikir secara khusyuk maka seorang hamba akan memperoleh ketenangan hati.

Berzikir bisa dilakukan kapan saja. Setelah shalat wajib, shalat sunah, atau di kala pagi dan malam hari.

Belakangan, marak fenomena zikir berjamaah. Sekelompok orang menggelar zikir secara bersama-sama. Lokasinya bisa di masjid atau di tempat-tempat umum. Lalu, bagaimanakah hukum pelaksanaannya?

Menurut Prof Kamal Bughlah, dalam kajiannya yang berjudul “Hukmu al-Jahr wa al-Ijtima’ ‘ala adz-Dzikr”, polemik zikir seperti ini pernah mengemuka di kalangan para salaf.

Di masa kini, pembahasannya pun tetap menarik perhatian para ulama. Para ulama berselisih pandang menyikapi hukum zikir berjamaah.

Komite Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi berpendapat bahwa zikir berjamaah hukumnya haram dan termasuk bidah. Pendapat itu dikeluarkan oleh lembaga yang dipimpin oleh Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dengan anggota Syekh Bakar Abu Zaid, Abdul Aziz Alussyekh, Shalih al-Fauzan, dan Abdullah bin Ghadyan.

Pandangan ini juga merupakan opsi yang dipilih oleh Asosiasi Ulama Senior Arab Saudi. Menurut mereka, aktivitas semacam itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Seperti hadis Bukhari Muslim yang diriwayatkan dari Aisyah, “Maka segala apa yang tidak pernah diteladankan oleh Rasul, hukumnya tertolak”. Artinya, tidak boleh dilakukan.

Zikir yang dicontohkan oleh Rasul ialah zikir individual dengan bersuara usai shalat lima waktu. Ini seperti hadis riwayat Bukhari Muslim dari Ibn Abbas.

Sekalipun pada dasarnya bacaan-bacaan yang dikeluarkan saat berzikir berjamaah pernah diteladankan Rasul tetapi cara penyampaiannya tidak dibenarkan. Ini dianggap bidah. Sebab, zikir yang disunahkan bersifat individual, bukan berjamaah.


Zikir berjamaah tidak pernah sekalipun terlaksana semasa Rasulullah hidup.

Karena itu, Ibnu Taimiyah juga menegaskan, Rasul dan para sahabatnya tidak berzikir berjamaah, baik ketika shalat Shubuh, Ashar, atau shalat lainnya.

Usai shalat, justru waktu itu dipergunakan oleh Rasulullah untuk menyampaikan nasihat dan pelajaran agama.

Sedangkan, kubu yang kedua, kata Prof Kamal, tidak sependapat dengan pihak pertama. Menurut mereka, tak ada larangan pelaksanaan zikir berjamaah. “Bahkan, para salaf menganjurkannya. Imam Malik dalam Muwatha, memperbolehkan zikir yang dibaca secara berjamaah.”

Ibnu Qudamah yang bermazhab Hambali juga demikian. Ini seperti terdapat di kitab “Al-Mughni”. Pernyataan serupa juga terdapat di kitab “Al-Umm” karya Imam Syafi’i. Mazhab Hanafi juga berpandangan bahwa hukum zikir berjamaah boleh. Ini seperti dinukilkan dari “Al-Bahr ar-Raiq” dan “Durar al-Ahkam”.

Karenanya, Imam Nawawi menegaskan, zikir berjamaah dengan bersuara tidak dilarang, bahkan disunahkan. Menurut Mazhab Syafi’i, bahkan lebih utama. Ini juga merupakan salah satu pendapat imam Ahmad dan Malik, seperti dinukilkan oleh Ibnu Hajar.

Salah satu dasar yang dijadikan dalil ialah hadis riwayat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh sejumlah imam, yaitu Muslim, Ibnu Majah, Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, dan Abi Syaibah, serta al-Baihaqi.

Hadis itu menegaskan, tidaklah berkumpul suatu kaum duduk bersama lalu berzikir kepada Allah, kecuali mereka akan dilindungi oleh para malaikat.

Atas dasar inilah, Imam Suyuthi menyanggah pendapat mereka yang menolak dan melarang zikir bersuara atau berjamaah. Pendapatnya itu tertuang dalam risalah kecil yang berjudul “Natijat al-Fikri fi al-Jahri bi adz-Dzikri”.

Source